Semesta La Galigo menggambarkan kosmologi masyarakat Bugis kuno dalam keseimbangan antara Botting Langi’ atau dunia atas, Ale Lino sebagai dunia tengah, dan Buri Liu yang merepresentasikan dunia bawah. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan penghuninya masing-masing, dan interaksi di antara ketiganya menentukan keselarasan kosmik. Misalnya, salah satu motif utama dalam La Galigo adalah turunnya To Manurung dari Botting Langi’ ke Ale Lino. Peristiwa ini menandai permulaan peradaban manusia di bumi. Selain itu, beberapa tokoh dalam La Galigo melakukan perjalanan ke Buri Liu. Perjalanan ini biasanya dilakukan untuk mencari pengetahuan atau kekuatan. Perjalanan ke dunia bawah kerap melintang bahaya sebab Buri Liu dihuni makhluk gaib dan kekuatan mistis. Konsep keseimbangan ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga tercermin dalam interaksi manusia dengan alam. Masyarakat Bugis kuno memahami bahwa tindakan yang merusak alam dapat mengganggu keseimbangan kosmik dan membawa petaka.
Di sisi lain, di belahan dunia lain, Archimedes, seorang fisikawan Yunani kuno, mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang keseimbangan dalam konteks fisika. Penelitiannya tentang tuas, pusat gravitasi, dan prinsip apung meletakkan dasar bagi mekanika statis. Penemuan titik berat, misalnya, memungkinkan kita untuk memahami bagaimana suatu benda dapat seimbang jika ditopang pada titik tertentu. Prinsip tuas juga menunjukkan bagaimana gaya kecil dapat menghasilkan efek yang besar jika diterapkan pada jarak yang tepat dari titik tumpu.
Meskipun berasal dari lokus berbeda, baik kosmologi La Galigo maupun penemuan Archimedes menyatakan pentingnya keseimbangan. Dalam konteks fisika, keseimbangan suatu benda berkaitan erat dengan titik berat. Titik berat adalah titik di mana seluruh berat benda dianggap terkonsentrasi. Jika suatu benda ditopang tepat di titik beratnya, benda tersebut akan berada dalam keadaan seimbang. Dalam semesta La Galigo, mengapa manusia di tempatkan di dunia tengah? Apakah itu memiliki hubungan dengan peran manusia menjaga keseimbangan alam?
Pertanyaan yang dibentangkan tersebut mengantar kami dalam haluan kolaborasi bersama Antologi Manusia, Bollo.id, Rumata’ Art Space, dan Trend Asia. Kolaborasi ini berpangkal pada platform pertunjukan dan pameran bersama yang bernama Fermentasi Radiasi.
Karya Bertumbuh Bersama
Apa yang kita definisikan sebagai karya bertumbuh bersama merujuk pada praktik artistik dalam La Galigo. Episode penebangan pohon Welenreng dalam epos La Galigo merupakan representasi penting dari hubungan manusia dengan alam dalam kosmologi Bugis kuno. Sawerigading, yang membutuhkan perahu tangguh untuk berlayar ke negeri We Cudai, memilih pohon Welenreng sebagai bahan pembuat perahunya. Pohon raksasa ini, yang akarnya mencapai dunia bawah dan dahannya menjulang ke langit, dianggap sakral dan memiliki hubungan mistis dengan keseimbangan alam. Sebelum menebang Welenreng, Sawerigading membuat serangkaian ritual yang rumit. Ritual ini menunjukkan adanya kesadaran mendalam akan ketergantungan manusia pada alam dan mencerminkan etika lingkungan yang mengharuskan manusia menghormati dan menjaga keseimbangan alam. Pohon Welenreng sendiri bukan sekadar pohon; ia dianggap sebagai poros dunia yang menghubungkan tiga lapisan alam semesta dan diyakini memiliki kekuatan magis dan spiritual.
Mitos penebangan Welenreng dalam La Galigo merefleksikan etika mendasar: pengambilan dari alam harus diimbangi dengan penghormatan dan kesadaran akan keseimbangan. Namun, realitas di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) menawarkan potret yang kontras. Alih-alih harmoni, yang hadir justru jejak kerusakan yang menghancurkan tatanan ekologis dan sosial. Ada mula kawasan industri tersebut dibangun dengan segala janji akan kemajuan industri. Namun, dalam praktiknya telah meninggalkan jejak mendalam pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Perubahan yang terjadi dalam waktu singkat merompak lanskap, ekosistem, dan kehidupan masyarakat. Aktivitas yang terjadi di kawasan tersebut menimbulkan jejak permasalahan seperti pencemaran, limbah industri, asap, dan debu yang merusak ekosistem kehidupan seperti hutan, sungai, dan laut. Temuan selama riset artistik di Bantaeng yang kami lakukan sejak tanggal 17 hingga 23 November 2024 mengonfirmasi hal tersebut.
Seorang nelayan paruh baya dengan kulit legam terbakar matahari, menatap nanar ke arah laut. Ia sedang memperbaiki tali tambat untuk rumput lautnya. Dulu, laut ini adalah sumber kehidupannya. Namun, sejak KIBA berdiri, semuanya berubah. Limbah industri mencemari laut, rumput laut banyak yang mati. Tak jauh dari pesisir, seorang perempuan yang bekerja sebagai petani rumput laut, juga merasakan dampak yang sama. Rumput laut yang menjadi andalannya untuk menyekolahkan anak-anaknya kini sulit tumbuh karena air laut yang tercemar. Dulu, rumput laut saya bagus-bagus, warnanya hijau segar. Sekarang, banyak yang berubah putih dan mati, ujarnya sambil menunjukkan tali tambatan rumput lautnya. Ia bingung bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup keluarganya jika rumput lautnya terus menerus gagal panen.
Di perkampungan yang berdekatan dengan KIBA, debu dan getaran menjadi makanan sehari-hari. Rumah-rumah warga diselimuti debu yang beterbangan dari aktivitas industri dan pertambangan. Getaran dari mesin-mesin pabrik membuat rumah mereka bergetar, bahkan beberapa sumur warga mengering. Setiap hari kami harus membersihkan debu yang menempel di perabotan rumah. Belum lagi suara bising dan getaran yang membuat kami susah tidur, kata seorang warga yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari pabrik.
Pemerintah daerah dan pihak pengembang KIBA awalnya menjanjikan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan, dan pembangunan infrastruktur dijanjikan akan membawa perubahan positif bagi Bantaeng. Namun, bagi sebagian masyarakat, janji-janji tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan justru lebih terasa.
Di sisi lain, di dalam pabrik, para pekerja juga memiliki cerita sendiri. Mereka bersyukur mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, meskipun terkadang harus bekerja dalam kondisi dan perlengkapan yang kurang ideal. Memang ada beberapa masalah, seperti debu dan suara bising. Tapi, kami butuh pekerjaan ini untuk menghidupi keluarga, kata seorang pekerja pabrik.
Kisah tentang KIBA adalah kisah tentang dilema pembangunan. Di satu sisi, industri dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Di sisi lain, dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan masyarakat tidak bisa diabaikan. Pertanyaan besar yang muncul adalah: bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan? Bagaimana memastikan bahwa pembangunan industri benar-benar membawa manfaat bagi seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir pihak?
Sebuah Ramuan Artistik
Fermentasi Radiasi: Penciptaan Seni dalam 4 Babak merupakan karya bersilangan antara jurnalistik, pertunjukan, dan instalasi seni yang berorientasi pada riset, bunyi, dan cahaya. Fermentasi Radiasi terbagi ke dalam 4 babak penciptaan, Residu Batu Bata berfokus pada lingkungan sosial, Patina Waktu berfokus pada perubahan ruang, Memori Ekologi — berfokus pada artefak ingatan, dan Pabrik Mimpi Buruk — berfokus pada ruang imajinatif. Secara konsep, penciptaan seni dalam 4 babak akan merespons perubahan warna dan tekstur dengan menggunakan dramaturgi dan jalan kaki sebagai praktik seni. Hasil temuan yang mengandung kenangan budaya ini direspons menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan pertunjukan, musik, cahaya, puisi, kartografi, video, dan instalasi.
Keindahan ada di sekeliling kita. Bencana ada di sekeliling kita. Realitas yang saling bertentangan ada di sekeliling kita — dan pastinya, selalu ada di dalam diri kita. Sebagai karya bertumbuh, Fermentasi Radiasi menjadi praktik perjumpaan antara produk jurnalistik dan karya seni. Dalam konteks ini, fermentasi bisa diartikan sebagai proses pengolahan informasi dan pengalaman melalui medium seni. Seperti fermentasi makanan yang menghasilkan rasa dan tekstur baru, kolaborasi jurnalisme dan seni menghasilkan perspektif dan pemahaman baru tentang realitas. Sementara radiasi menggambarkan bagaimana karya seni yang dihasilkan memancarkan makna dan emosi kepada pirsawan. Ia menyebar dan memengaruhi cara kita memandang dunia, memperluas kesadaran dan memicu refleksi.
Bentuk pertunjukan dan instalasi seni yang kami pilih dalam kolaborasi artistik ini berupaya memandang jurnalisme dan seni sebagai platform yang sepadan untuk membantu kita mengintrogasi kenyataan. Seni dapat memperpendek jarak yang harus kita tempuh untuk melihat kenyataan bahwa manusia, sebagai penjaga keseimbangan alam kini membuat krisis iklim semakin parah dan merusak keseimbagan Ale Lino.
Tinggalkan Balasan