
Sebuah catatan riset artistik
Ayu Puspa F
Dari atas perahu katingting di laut Bantaeng, saya menengok ke langit Pajukukang dan melihat asap yang keluar dari corong-corong smelter nikel. Asap yang, dari kejauhan, mengingatkan saya kepada asap uap penjual kue Putu Menangis.
Kecamatan Pa’jukukang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Bantaeng. Bagian pesisir Pajukukang adalah penghasil komoditas perikanan seperti udang, bandeng, dan rumput laut. Pajukukang juga wilayah penghasil komoditas batu bata.
Saat itu saya ikut melaut bersama Pak Jusman (38), seorang petani rumput laut. Perahu membawa kami ke lahan budidaya rumput laut miliknya. Ia mencelupkan tangannya ke laut dan mengangkat tali-tali tempat pembibitan rumput laut sambil bercerita mengenang masa lalu.
“Sebelumnya ada ini pelabuhan, besar-besar ki ini rumput laut kayak begini (menunjuk kelingking), sekarang syukurmi itu kalau nda mati” “dulu apa bisaki beli barang-barang, sekarang ma utang mamiki biasa kasihan”- kenang Pak Jusman mengingat masa-masa jayanya sebagai petani rumput laut.
Sebelum ada smelter, hasil panen rumput laut bisa sampai berton-ton. Hasil panen itu dikumpulkan dan dijual ke tengkulak. Hasil penjualan rumput laut mampu menyekolahkan anak-anak mereka, juga membeli beberapa gram emas untuk para istri. Sekarang, mereka sangat bersyukur jika hasil panen rumput laut mampu mengepulkan dapur mereka tanpa harus berutang dulu ke tengkulak.
Pak Jusman juga bercerita tentang pelabuhan baru milik perusahaan nikel. Pembangunannya menggunakan cara menimbun laut dengan limbah slag, sisa dari hasil peleburan nikel. Limbah ini yang dijadikan sebagai bahan material reklamasi. Hasilnya, air laut menjadi kelabu dan beraroma besi berkarat. Banyak biota laut yang mati, salah satunya rumput laut.
Pelabuhan itu sengaja dibangun untuk memudahkan mobilisasi hilirisasi nikel KIBA yang menjadi Proyek Strategis Negara. November 2024, Saya ke KIBA bersama teman-teman Antologi Manusia. Kami melakukan sebuah riset artistik untuk pertunjukan seni. KIBA (Kawasan Industri Bantaeng) merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) era Joko Widodo di Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng. KIBA dimulai dengan pembentukan Perda Bantaeng Nomor 2/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bantaeng 2012-2032. Kecamatan Pa’jukukang didaulat sebagai kawasan industri dengan luas wilayah 3.128 hektar. Sebagai Proyek Strategis Negara KIBA dibentuk melalui Permenko 9/2022 tentang Perubahan Permenko 7/2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Awalnya KIBA menjadi industri pengolahan hasil perikanan, namun berubah seiring waktu menjadi kawasan Hilirisasi Nikel. Tempat ini juga dinilai kering untuk menghasilkan apa-apa, jadilah pemerintah membuka kesempatan untuk investor. Kesempatan ini diambil oleh para investor untuk membust smelter.
Lain di laut, lain di darat. Berbeda yang dialami Pak Jusman juga apa yang dialami Bu Yeni dan Sumi, keluarga pembuat batu bata. Saat mengunjungi Borong Loe, salah satu desa di Kecamatan Pajukukang saya bertemu Bu Yeni (57) dan Sumi (16). Mereka adalah nenek dan cucu yang bertugas mencetak dan mengeringkan batu bata, yang diberi upah 150 rupiah perbuah. Batu bata adalah satu-satunya sumber pemasukan mereka saat ini. Dulunya, Bu Yeni mendapat kiriman uang dari anaknya yang bekerja di Malaysia. Namun kini anaknya pulang dan kembali menjadi pengangguran.
Sebelum ada smelter, mereka tidak begitu resah dengan ada tidaknya kiriman uang dari Malaysia. Mereka bercocok tanam di halaman rumah, jika mereka ingin makan, mereka tinggal memetiknya. Hasil dari batu bata mereka gunakan untuk membeli ikan juga keperluan lainnya. Setelah ada smelter mereka harus mencetak lebih banyak batu bata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebab tidak ada lagi yang mereka bisa panen.
“kita ini yang tinggal di sini (Papan Loe) menunggu mami ki pembebasan lahan” ungkap Bu Yeni sambil memberi intonasi yang berbeda pada dua kata terakhir: Pembebasan Lahan. Di Papan Loe, pembebasan lahan berarti perusahaan membeli tanah warga. Biasanya mereka yang telah membebaskan lahan juga akan terbebas dari polusi smelter karena memulai kehidupan baru di tempat yang jauh.
Namun tidak semua orang beruntung bisa membebaskan lahan juga diri mereka dari polusi smelter. Ibu Yeni, salah satu orang yang baru saja melakukan pembebasan lahan juga contoh kasus yang lain. Tanah yang Bu Yeni jual ke perusahaan adalah sebuah barter iming-iming kuota pekerjaan. Bu Yeni terpaksa menjual sebidang tanah itu untuk membebaskan anaknya dari pengangguran.
Serupa namun tidak sama dengan cerita Bu Yeni. Tidak ada pembebasan untuk tanah Bu Hasiah. Bu Hasiah tinggal di Mawang sejak ia lahir, rumahnya berhadapan langsung dengan kebun kakeknya yang kini menjadi smelter. Mawang merupakan salah satu dusun yang ada di Kecamatan Pajukukang. Dulu kakeknya seorang tentara yang memiliki kebun sebesar 20ha. Kebun itu ditanami pisang, apel, pohon asam dan sayur-sayuran. Ia mengingat masa-masa remajanya yang ia lalui bersama para sepupu memetik sayur dan buah. Semua tumbuh subur di Mawang sampai kedatangan smelter.
Belum cukup satu dekade kebun milik kakek Bu Hasiah dijual dengan harga yang sangat murah sekitar Rp. 14.000/meter (harga saat ini 50.000-100.000 permeter). Kebun itu terpaksa dijual karena pembangunan smelter yang mengancam dengan menutup akses keluar masuk ke kebun. “kalau kita tidak mau jual, beli mki saja helicopter biar bisaki masuk di kebun ta’ karena ini jalan mau ditutup kiri kanan. Begitu yang dia bilang, makanya kita jual saja daripada beli ki helicopter na tidak ada juga uang, kalau nda beliki nda bisa juga masuk kebun”
Tanah berhektar-hektar itu tidak cukup dibagi ke semua keluarga Bu Hasiah. Sebagai cucu tentu saja ia bukan yang diutamakan menerima hasil penjualan kebun warisan itu. Bu Hasiah terpaksa tetap tinggal di Mawang dan menjalani kehidupan sebagai pembuat batu bata. Saat ia kedatangan tamu ia sangat malu dengan kondisi rumahnya seperti tidak dirawat, padahal hampir setiap waktu ia mengepel lantai. Tapi tetap saja debu tidak berhenti masuk ke rumahnya dan merusak apa yang ada di dalam.
Sudah banyak yang meminta ia pindah dari tempat itu namun tidak mudah untuk meninggalkannya. “Banyak mi itu keluarga suruhka pindah kalau na lihat ini rumahku kasihan. Ada juga mi biasa kasih tawaran bantuan. Tapi tidak semudah itu pindah tempat, apalagi saya batu bata ji yang kutahu, nda bisa ka saya itu buka warung-warung” Bukan hal mudah untuk memulai hidup di tempat yang baru. Bu Hasiah yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat batu bata akan sangat kesulitan jika harus pindah. Ia perlu beradaptasi dengan lingkungan, mencoba pekerjaan lain. Sedang Bu Hasiah mengaku hanya membuat batu bata yang ia mampu lakukan.
Jika ia berpindah tempat tinggal tentu saja ia harus mencari tempat yang cocok membuat batu bata. Lokasi yang cocok untuk membuat batu bata adalah daerah beriklim hangat dan memiliki sumber tanah lempung yang melimpah. Dan mencari tempat yang seperti itu sama sulitnya dengan bertahan di tempat yang sekarang. Jadi yang bisa Ibu Hasiah lakukan saat ini hanyalah bertahan.
Mereka orang-orang yang saya temui, semuanya memiliki satu kesamaan: korban smelter. Pak Jusman, Bu Yeni, Sumi, Bu Hasiah bertahan untuk hidup di sekitar smelter. Pembebasan hanya untuk tanah mereka yang berpindah kepemilikan. Asap smelter tetap mengepul, dari kejauhan tamapak seperti asap uap putu menangis. Tapi suaranya adalah lirih tangisan milik warga.
Tinggalkan Balasan